Penundaan Haji: Tinjauan Fiqh dan Risikonya bagi Seorang Muslim
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat, khususnya kemampuan atau istitha'ah. Namun, dalam praktiknya, seringkali muncul pertanyaan mengenai hukum penundaan haji. Apakah seorang Muslim yang sudah mampu boleh menunda pelaksanaan haji tanpa alasan yang syar'i? Bagaimana pandangan fiqh mengenai hal ini, dan apa saja risiko yang mungkin timbul dari penundaan tersebut? Memahami aspek ini sangat penting agar setiap Muslim dapat mengambil keputusan yang tepat terkait kewajiban haji mereka.
Pandangan Fiqh tentang Penundaan Haji Para ulama fiqh memiliki perbedaan pendapat mengenai kapan kewajiban haji harus ditunaikan setelah seseorang memenuhi syarat istitha'ah. Ada dua pandangan utama:
- Kewajiban Haji Bersifat Segera (Fawri) Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, serta sebagian ulama Syafi'i, berpendapat bahwa kewajiban haji bersifat segera (fawri). Artinya, begitu seorang Muslim memenuhi seluruh syarat wajib haji, ia wajib segera menunaikannya pada kesempatan pertama yang memungkinkan. Penundaan tanpa alasan syar'i (seperti sakit, ketidakamanan perjalanan, atau tidak adanya mahram bagi wanita) dianggap berdosa.
Dalil yang menjadi dasar pandangan ini antara lain:
Firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 97: "...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah..." Ayat ini menunjukkan perintah yang bersifat segera.
Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA: "Barangsiapa yang ingin berhaji, maka bersegeralah, karena terkadang ia sakit, terkadang kendaraannya hilang, dan terkadang ada kebutuhan lain." (HR. Ibnu Majah dan Ahmad). Hadis ini secara eksplisit menganjurkan untuk segera berhaji.
Kekhawatiran akan datangnya halangan di kemudian hari. Kehidupan tidak ada yang tahu, bisa jadi kesehatan menurun, kondisi finansial berubah, atau bahkan ajal menjemput.
Menurut pandangan ini, jika seseorang menunda haji padahal sudah mampu, ia telah melakukan dosa. Kewajiban haji tetap melekat padanya hingga ia menunaikannya. Jika ia meninggal dunia sebelum berhaji padahal sudah mampu, ia meninggal dalam keadaan menanggung dosa dan ahli warisnya dianjurkan untuk membadalkan haji baginya.
- Kewajiban Haji Bersifat Longgar (Tarākhi) Sebagian ulama dari mazhab Syafi'i berpendapat bahwa kewajiban haji bersifat longgar (tarākhi). Artinya, seorang Muslim yang sudah mampu boleh menunda haji, asalkan ia memiliki niat yang kuat untuk melaksanakannya di kemudian hari dan yakin bahwa ia akan mampu menunaikannya. Penundaan ini tidak dianggap berdosa selama ia masih hidup dan mampu.
Dalil yang menjadi dasar pandangan ini antara lain:
Rasulullah SAW menunaikan haji pada tahun ke-10 Hijriah, meskipun kewajiban haji telah disyariatkan lebih awal. Ini diinterpretasikan bahwa beliau tidak langsung berhaji setelah disyariatkan, menunjukkan adanya kelonggaran waktu.
Tidak ada dalil eksplisit yang mengancam dosa bagi penunda haji jika ia masih berniat dan mampu melaksanakannya di kemudian hari.
Meskipun demikian, para ulama yang berpendapat tarākhi pun tetap menganjurkan untuk tidak menunda-nunda haji tanpa alasan yang kuat, mengingat ketidakpastian hidup.
Risiko Penundaan Haji Terlepas dari perbedaan pendapat fiqh, secara praktis, penundaan haji memiliki beberapa risiko yang patut dipertimbangkan oleh seorang Muslim:
-
Risiko Kesehatan Menurun Kesehatan adalah salah satu aspek penting dari istitha'ah. Semakin bertambah usia, kondisi fisik seseorang cenderung menurun. Ibadah haji membutuhkan stamina yang prima untuk melakukan rangkaian ibadah yang padat, seperti tawaf, sa'i, melontar jumrah, dan berjalan kaki dalam jarak yang cukup jauh. Menunda haji berarti mengambil risiko bahwa di kemudian hari kondisi kesehatan mungkin tidak lagi memungkinkan untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna atau bahkan sama sekali.
-
Risiko Perubahan Kondisi Finansial Kondisi finansial seseorang bisa berubah sewaktu-waktu. Apa yang hari ini dianggap mampu, besok lusa bisa jadi tidak lagi mampu karena berbagai faktor seperti krisis ekonomi, kehilangan pekerjaan, kebutuhan mendesak keluarga, atau musibah. Biaya haji juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menunda haji berarti mengambil risiko bahwa kemampuan finansial yang dimiliki saat ini mungkin tidak lagi tersedia di masa depan.
-
Risiko Antrean Haji yang Panjang Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendaftaran haji memerlukan antrean yang sangat panjang, bisa mencapai puluhan tahun. Jika seseorang menunda pendaftaran atau keberangkatan, ia akan masuk dalam antrean yang lebih panjang lagi, yang berarti ia harus menunggu lebih lama untuk bisa berangkat. Ini menjadi pertimbangan serius bagi mereka yang sudah memenuhi syarat.
-
Risiko Datangnya Ajal Ini adalah risiko terbesar dan paling sering ditekankan oleh para ulama yang berpendapat fawri. Kematian bisa datang kapan saja, tanpa pemberitahuan. Jika seseorang menunda haji dan meninggal dunia sebelum sempat menunaikannya, padahal ia sudah mampu, ia akan menghadap Allah SWT dalam keadaan belum menunaikan salah satu rukun Islam. Ini adalah kerugian besar yang tidak dapat diperbaiki lagi.
-
Risiko Perubahan Kondisi Keamanan atau Politik Kondisi global, termasuk keamanan dan politik di negara tujuan haji atau di jalur perjalanan, bisa berubah secara drastis. Konflik, wabah penyakit, atau kebijakan baru dapat menghambat atau bahkan membatalkan perjalanan haji. Menunda haji berarti mengambil risiko terhadap faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendali individu.
-
Risiko Hilangnya Keberkahan dan Semangat Semangat dan motivasi untuk beribadah bisa pasang surut. Ketika seseorang sudah mampu dan memiliki semangat tinggi untuk berhaji, menundanya bisa membuat semangat itu meredup seiring waktu. Selain itu, ada keyakinan bahwa keberkahan dan kemudahan dalam berhaji datang dari Allah bagi mereka yang bersegera menunaikan kewajiban-Nya.
Alasan Syar'i untuk Penundaan Haji Meskipun penundaan haji tanpa alasan syar'i tidak dianjurkan (atau bahkan berdosa menurut mayoritas ulama), ada beberapa kondisi yang membolehkan seseorang untuk menunda haji:
Sakit parah yang menghalangi perjalanan dan pelaksanaan ibadah.
Tidak adanya mahram bagi wanita, dan belum ada solusi yang aman.
Kondisi keamanan yang tidak memungkinkan di jalur perjalanan atau di Tanah Suci.
Kewajiban mendesak lainnya yang lebih utama dalam syariat, seperti melunasi hutang yang jatuh tempo dan tidak ada harta lain selain untuk haji.
Antrean haji yang panjang di negara tertentu (ini adalah kondisi eksternal yang di luar kendali jemaah, sehingga penundaan ini bukan karena kehendak jemaah itu sendiri).
Kesimpulan Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai sifat kewajiban haji (segera atau longgar), mayoritas cenderung pada pandangan bahwa haji harus ditunaikan segera setelah seseorang mampu. Penundaan haji tanpa alasan syar'i membawa berbagai risiko serius, mulai dari menurunnya kesehatan, perubahan kondisi finansial, panjangnya antrean, hingga risiko terbesarnya yaitu kematian sebelum sempat menunaikan kewajiban. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat istitha'ah, sangat dianjurkan untuk tidak menunda-nunda pelaksanaan ibadah haji. Bersegeralah memenuhi panggilan Allah, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita semua untuk menjadi tamu-Nya di Tanah Suci dan meraih haji mabrur.
#PenundaanHaji #HukumHaji #FiqhHaji #KewajibanHaji #Istithaah #RisikoHaji #HajiFawri #HajiTarakhi #ManasikHaji #HajiMabrur